In nearly thirty years as a Buddhist monk, born and educated in the West but trained in the Thai Forest Tradition, Ajahn Brahm has gathered many poignant, funny and profound stories. In this collection of teaching stories are many true-to-life tales, which are used to launch into a deeper exposition of mindfulness, wisdom, love and compassion. In each story the raw edge of truth is evident.
Coming to Australia
Becoming a Leader
Achievements
Klik gambar untuk memperbesar....
atau klik kanan=>open link in new tab...lalu klik kanan save image as//
silakan menikmati & semoga bermanfaat.
Sheryl
Album lagu Buddhis Mandarin dengan 15 buah lagu. |
Bu Xu Ci Xing (Tidak Menyia-nyiakan Perjalanan Ini) MP3 (4.9 MB)
Chen Dian (Mengendap) MP3 (5.7 MB)
Ci Bei (Welas Asih) MP3 (4.9 MB)
Fu Tian (Ladang Kebahagiaan) MP3 (5.3 MB)
Ni Hao Ma (Apa Kabar) MP3 (4.5 MB)
Ning Jing De He Ping (Damai Yang Tenang) MP3 (6 MB)
Qing Yuan (Jodoh Asmara) MP3 (4.8 MB)
Rang Ai Qi Fei (Biarkan Cinta Lepas Landas) MP3 (3.8 MB)
Shi Jian De He (Sungai Waktu) MP3 (4.1 MB)
Shi Luo Di Ping Xian (Sedih Tak Tertahankan) MP3 (4.6 MB)
Shi Yuan (Ikrar) MP3 (5.6 MB)
Xing Yuan (Harapan) MP3 (4.9 MB)
Yong Qi (Keberanian) MP3 (3.9 MB)
Zhong Zi (Benih) MP3 (4.7 MB)
Zhu Fu (Ucapan Selamat) MP3 (4.7 MB)
Peter Fang
Lagu-Lagu Buddhis Karya Herry Dhapuka
Vokal oleh Ida Laksmi
Andai Saja (9.3 MB)
Andaikan (9.6 MB)
Buddha Tiada Berdusta (8.4 MB)
Delapan Ruas Jalan Kemuliaan (9.5 MB)
DhammaMu dalam Hatiku (9.4 MB)
Guru Agung (8.5 MB)
Ilusi (4.3 MB)
Nirwana (3.3 MB)
Sambutlah Dia (3.3 MB)
You’re Not Alone (8.8 MB)
Jubing Kristianto adalah juara nasional kompetisi solo gitar akustik Yamaha untuk tahun 1987, 1992, 1994, dan 1995. Tahu 1984, ia juga meraih Distinguished Award pada Yamaha Festival Gitar Asia Tenggara di Hong Kong. Sehri-harinya suami dari penulis cerita anak Renny Yaniar ini adalah instruktur dan penguji pada sekolah-sekolah musik Yamaha di Indonesia.
Sebagai gitaris, ia tampil bersama banyak musisi dan vokalis dari berbagai aliran, baik di panggung maupun studio rekaman. Salah satunya bersama Kwartet Punakawan pimpinn pianis Jaya Suprana, yang telah berkonser keliling Indonesia, Australia, Singapura, dan Jepang.
Terima kasih kepada Yayasan Ehipassiko/Handaka yang telah mengijinkan CD ini diupload dan bisa didownload bebas.
Seluruh track album ini merupakan lagu instrumental guitar kecuali track 1 dan 13.
2. Come and See (4 MB)
3. Dana Paramita (3.5 MB)
4. Dian Deng De Hai Zi (3.5 MB)
5. Bodhicitta (4.3 MB)
6. Selamat Ulang Tahun (3.6 MB)
7. Hadirkan Cinta (4.3 MB)
8. Sadhu (2.6 MB)
9. Happy Vesakh (3.6 MB)
10. Mama Hao (3.4 MB)
11. Sujudku (4.2 MB)
12. Come and See (2.4 MB)
13. Bodhicitta (Hanasilim) (2.4 MB)
Komik ini menceritakan si Robo dan si Bolat dengan mesin waktunya kembali ke masa Sang Buddha untuk melihat apa yang terjadi. Komik ini bergaya santai dengan bumbu humor, sangat menghibur dan menarik |
| | |
| | |
| | |
| | |
| | |
| | |
| | |
Kata ehipassiko berasal dari kata ehipassika yang terdiri dari 3 suku kata yaitu ehi, passa dan ika. Secara harafiah ”ehipassika” berarti datang dan lihat. Ehipassikadhamma merupakan sebuah undangan kepada siapa saja untuk datang, melihat serta membuktikan sendiri kebenaran yang ada dalam Dhamma.
Istilah ehipassiko ini tercantum dalam Dhammanussati (Perenungan Terhadap Dhamma) yang berisi tentang sifat-sifat Dhamma.
Guru Buddha mengajarkan untuk menerapkan sikap ehipassiko di dalam menerima ajaranNya. Guru Buddha mengajarkan untuk ”datang dan buktikan” ajaranNya, bukan ”datang dan percaya”. Ajaran mengenai ehipassiko ini adalah salah satu ajaran yang penting dan yang membedakan ajaran Buddha dengan ajaran lainnya.
Salah satu sikap dari Guru Buddha yang mengajarkan ehipassiko dan memberikan kebebasan berpikir dalam menerima suatu ajaran terdapat dalam perbincangan antara Guru Buddha dengan suku Kalama berikut ini:
"Wahai, suku Kalama. Jangan begitu saja mengikuti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kata orang, koleksi kitab suci, penalaran logis, penalaran lewat kesimpulan, perenungan tentang alasan, penerimaan pandangan setelah mempertimbangkannya, pembicara yang kelihatannya meyakinkan, atau karena kalian berpikir, `Petapa itu adalah guru kami. `Tetapi setelah kalian mengetahui sendiri, `Hal-hal ini adalah bermanfaat, hal-hal ini tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dilaksanakan dan dipraktekkan, menuju kesejahteraan dan kebahagiaan`, maka sudah selayaknya kalian menerimanya.” (Kalama Sutta; Anguttara Nikaya 3.65)
Sikap awal untuk tidak percaya begitu saja dengan mempertanyakan apakah suatu ajaran itu adalah bermanfaat atau tidak, tercela atau tidak tecela; dipuji oleh para bijaksana atau tidak, jika dilaksanakan dan dipraktekkan, menuju kesejahteraan dan kebahagiaan atau tidak, adalah suatu sikap yang akan menepis kepercayaan yang membuta terhadap suatu ajaran. Dengan memiliki sikap ini maka nantinya seseorang diharapkan dapat memiliki keyakinan yang berdasarkan pada kebenaran.
Ajaran ehipassiko yang diajarkan oleh Guru Buddha juga harus diterapkan secara bijaksana. Meskipun ehipassiko berarti ”datang dan buktikan” bukanlah berarti selamanya seseorang menjadikan dirinya objek percobaan. Sebagai contoh, ketika seseorang ingin membuktikan bahwa menggunakan narkoba itu merugikan, merusak, bukan berarti orang tersebut harus terlebih dulu menggunakan narkoba tersebut. Sikap ini adalah sikap yang salah dalam menerapkan ajaran ehipassiko. Untuk membuktikan bahwa menggunakan narkoba itu merugikan, merusak, seseorang cukup melihat orang lain yang menjadi korban karena menggunakan narkoba. Melihat dan menyaksikan sendiri orang lain mengalami penderitaan karena penggunaan narkoba, itu pun suatu pengalaman, suatu pembuktian.
Riwayat Agung Para Buddha (Buku ke-3)
Simak riwayat kehidupan para Thera dan Theri, siswa dan siswi Sang Buddha, dalam buku ke-3 dari Riwayat Agung Para Buddha yang disusun oleh Mingun Sayadaw sebagai pemegang gelar Tipitakadhara Dhamma Bhandhagarika yang bukan hanya mampu menghafal Kitab Tipitaka yang dibabarkan oleh Buddha, berikut Kitab Komentar dan Kitab Subkomentar, namun juga piawai memahami makna-maknanya secara mendalam. Catatan: Untuk keseluruhan terdapat 3843 halaman yang dibagi menjadi 3 buah buku.
Download (Size: 4 143 Kbytes)
Riwayat Agung Para Buddha (Buku ke-2)
Peristiwa apakah yang dialami oleh Buddha Gotama diusiaNya yang ke-41 tahun? Dan apakah nasihat terakhir Beliau menjelang Parinibbana (mangkat)? Simak semuanya di buku ke-2 dari Riwayat Agung Para Buddha yang merupakan mahakarya klasik yang menyeluruh dan akurat, yang tidak terdapat penambahan atau pengurangan yang tak perlu dari Tipitaka. Catatan: Untuk keseluruhan terdapat 3843 halaman yang dibagi menjadi 3 buah buku.
Download (Size: 4 389 Kbytes)
Riwayat Agung Para Buddha (Buku ke-1)
Sebelum kehadiran Buddha Gotama, pada masa lampau, telah hadir Para Buddha yang jumlahnya tak terhitung, di antaranya terdapat 24 Buddha yang hadir sebelum Buddha Gotama. Bagaimanakah riwayat kehidupan dari 24 Buddha tersebut? Dan bagaimanakah dengan riwayat kehidupan dari Buddha Gotama itu sendiri? Simak riwayat kehidupan Para Buddha tersebut dalam buku Riwayat Agung Para Buddha yang disusun oleh Sayadaw U Vicittasarabivamsa (Mingun Sayadaw). Catatan: Untuk keseluruhan terdapat 3843 halaman yang dibagi menjadi 3 buah buku.
Download (Size: 4 512 Kbytes)
Bhante Jinadhammo itu titisan Raja Sriwijaya. Ia membuat Buddha Dharma berkilau di Pulau Sumatera. Kilaunya sampai ke seluruh pelosok nusantara."
Demikian pernah disampaikan oleh seorang aktivis Buddhis terkemuka. Pernyataan tersebut jika direnungkan secara mendalam bukanlah sesuatu yang berlebihan. Di tangan bhikkhu yang dikenal sangat disiplin dalam tata susila (baca : vinaya-Red) inilah, bergulir banyak sejarah, mulai dari pembangunan vihara, guru dan dosen Agama Buddha, aktivis-aktivis Buddhis, sekolah, proyek sosial, dan sederet kegiatan lainnya. Semuanya mengukir prestasi yang monumental.
Bhikkhu Jinadhammo merupakan salah satu dari lima bhikkhu yang pertama kali ditahbiskan setelah Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, di Candi Borobudur pada tahun 1970. Beliau juga termasuk sebagai bhikkhu dengan vassa tertua di Indonesia yang masih tetap lincah dan bersemangat dalam mengembangkan Buddha Dharma, khususnya di Indonesia. Ia dikagumi Umat Buddha bukan saja karena kesederhanaan hidupnya tetapi juga keteguhan prinsipnya.
Bhikkhu Jinadhammo dilahirkan di Desa Gempok. Kecamatan Simo, Kabupaten Boyolali, Propinsi Jawa Tengah, pada tanggal 3 September 1944, dengan nama kecil Sunardi. Ayahnya, Adma M. dan ibunya, Sadiem, bukanlah Buddhis.
Sunardi kecil adalah sosok anak yang sering sakit-sakitan. Ditambah lagi dengan kondisi negara yang baru saja merdeka, memaksa keluarga Sunardi untuk selalu berpindah-pindah ke berbagai pelosok di daerah Jawa.
Meski berasal dari keluarga susah, Sunardi tetap bisa menamatkan Sekolah Rakyat (sekarang disebut Sekolah Dasar-Red). Ia melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Dari kecil, semangat belajar Sunardi cukup tinggi. Untuk menambah uang saku, sepulang sekolah ia bekerja sebagai tukang cukur rambut. Sebagaimana anak yang tumbuh remaja, Sunardi juga kerap mengunjungi tempat-tempat keramaian, terutama pertunjukkan wayang kulit. Ia betah menonton pagelaran wayang kulit berhari-hari dan tentunya sampai hapal dengan lakon dan tokoh wayangnya.
“Bhante Jinadhammo itu menguasai sekali masalah perwayangan", demikian disampaikan Rudiyanto Tan, Pimpinan Redaksi Majalah Dhammavira. “Satu kali, kami pernah membahas hal ini, mulai dari Ramayana, Mahabrata, sampai dengan lakon Asmara Bhumi.”
Agama Buddha mulai dikenal Sunardi saat ia bersama teman-temannya sering mengunjungi Candi Borobudur dan Prambanan, yang tak begitu jauh dari tempat tinggalnya. Diam-diam ia penasaran dengan kemegahan candi tersebut. Pertanyaan itu terjawab ketika Sunardi membaca Majalah Mutiara Minggu yang membuat tentang agama-agama besar di Indonesia. Sunardi tertarik sekali dengan Agama Buddha dan sejak itulah ia rutin mempelajari Agama Buddha melalui majalah yang sederhana tersebut.
Tertarik dengan Agama Buddha, akhirnya Sunardi bertemu dengan Bhikkhu Ashin Jinarakkhita di Bandung. Dari Bhikkhu Ashin, Sunardi giat mempelajari Paritta-Paritta suci dan Buddha Dharma secara mendalam. Keseriusan Sunardi membawa berkah. Ia malah dipilih sebagai pemimpin kebaktian untuk mahasiswa-mahasiswi di Vihara Vimala Dharma, Bandung, awal tahun 1960. Hal ini pula yang membawa Sunardi bergabung dalam organisasi Agama Buddha di Bandung pada tqahun 1962.
Setelah satu tahun di Kota Kembang ini, Sunardi ditugaskan oleh Bhikkhu Ashin untuk mengembangkan Buddha Dharma di wilayah Sumatera, khususnya Medan, Padang dan Pekanbaru.
Setelah Sunardi ditahbiskan sebagai upasaka oleh Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, ia kerap mendampingi Bhikkhu Ashin berkeliling Sumatera bahkan Indonesia. Dan ini suatu kebanggaan tersendiri pada masa itu, karena siapa yang bisa terpilih sebagai upasaka Bhikkhu Ashin, merupakan hal yang sangat jarang terjadi.
Upasaka Sunardi ditahbiskan menjadi samanera oleh Bhante Ashin dengan nama Dhammasushiyo. Selang beberapa waktu kemudian, samanera Dhammasushiyo mengambil keputusan untuk menjadi Bhikkhu. Tepat pada Hari Waisak, tanggal 9 Mei 1970, pukul 14.00 WIB, bertempat di Candi Borobudur, bersama empat orang Samanera lainnya, yaitu Samanera Jinasuryabhumi (U.P.Dhamapala alias Nirihuwa Bermandus-kemudian dikenal sebagai Bhikkhu Aggajinamitto), Samanera Dhammasila (Tan Hiap Kik-kemudian dikenal sebagai Bhikkhu Uggadhammo), Samanera Dhammavijaya (Tiong Khouw Siw-dikenal dengan Bhikkhu Sirivijoyo, telah lepas jubah), dan Samanera Dhammabhumi (Djumadi, dikenal sebagai Bhikkhu Saccamano, telah lepas jubah) - Samanera Dhammasushiyo ( dikenal sebagai nama Bhikkhu Jinadammo) diupasampada menjadi bhikkhu.
Selang beberapa waktu setelah diupasampada, Bhikkhu Jinadhammo berlatih meditasi di Wat Ban Tad, Daerah Udonthani, sebelah Timur Laut dari Kota Bangkok, dibawah pengawasan Ajahn Boowa, seorang meditator tersohor, selama kurang lebih tiga tahun. Wat Ban Tad adalah salah satu nama vihara sekaligus pusat pelatihan meditasi termasyur di Muangthai, selain Wat Ba Phong, tempat meditator legendaris Ajahn Chah melatih murid-muridnya.
Setelah tiga tahun belajar meditasi di Muangthai, Bhikkhu Jinadhammo kembali ke Indonesia dan bertugas untuk membina Umat Buddha di Pulau Sumatera. Beliau bermukim di Vihara Borobudur, Medan.
Bersama dengan Bapak Wirawan Giriputra dan Bapak Otong Hirawan, Bhikkhu Jinadhammo bekerja keras memajukan Agama Buddha di Kota Medan. Atas jasa Bhikkhu Jinadhammo pulalah mulai didatangkan tenaga pengajar Agama Buddha dari pulau Jawa ke Sumatera, khususnya Medan dan sekitarnya. Beliau juga mengangkat guru-guru Agama Buddha tersebut sebagai upasaka pandita agar dapat mewakili Sangha, yang pada masa itu tercatat masih sangat minim jumlahnya. Dari guru-guru agama tersebut, tercatat nama-nama seperti Pandita Widyaputra Suwidi Sastro Atmojo yang memiliki peranan besar dalam mendirikan Vihara Buddha Jayanti di Rantau Prapat, Pandita Kumala Kusumah yang berjasa besar dalam memajukan pendidikan Agama Buddha di Kisaran atau Pak Dharmanto di Medan.
Selain menggerakkan pembangunan banyak Vihara di Sumatera, Bhikkhu Jinadhammo juga sangat antusias dalam melaksanakan program latih diri terhadap Umat Buddha, beberapa diantaranya adalah Program Latih Diri Vipassana Bhavana yang dilaksanakan secara rutin. Pekan Penghayatan Dharma, Latih diri Atthangasila/Pabbaja Samanera-Samaneri, dan banyak lagi. Bhikkhu Jinadhammo juga memberi perhatian besar terhadap dunia pendidikan. Didukung oleh Romo Ombun Natio, Bhikkhu Jinadhammo juga menggagas pendirian Institut Agama Buddha Smaratungga Cabang Medan (saat ini bernama Sekolah Tinggi Agama Buddha Bodhi Dharma-Red), yang banyak melahirkan sarjana Agama Buddha yang kini tersebar baik sebagai penyuluh Agama Buddha di Departemen Agama Republik Indonesia, guru agama di berbagai sekolah, maupun aktivis Buddhis terkemuka. Beliau juga memiliki banyak anak asuh yang berasal dari keluarga kurang mampu tetapi masih memiliki keinginan untuk sekolah.
Agama Buddha di Tanah karo dan Semangat Non Sekterian
Tak banyak Umat Buddhis di Sumatera Utara yang mengetahui bahwa jasa Bhikkhu Jinadhammo dalam merintis Agama Buddha di Tanah Karo sangat besar. Seperti kita ketahui bersama, banyak pandangan awam yang mengtahui bahwa Agama Buddha hanya milik orang Tionghoa saja. Tentu saja ini salah besar! Selain Tionghoa, Tamil dan Jawa, ternyata Agama Buddha banyak dipeluk oleh masyarakat Batak karo. Tercatat nama-nama tokoh Buddhis yang berasal dari Batak Karo, diantaranya Bhikku Kanthadhammo, Channa Surbakti, Ndriken Sitepu, Gancih Sitepu (alm), Densi Ginting, Nenteng Barus, dan banyak lagi. Upaya ini telah mulai dirintis oleh Bhikku Jinadhammo sejak tahun 1984. Saat ini, jumlah masyarakat Batak karo yang memeluk Agama Buddha semakin meningkat. Bahkan diantara mereka ada yang telah fasih dalam melafalkan Paritta dan menjadi Tokoh Agama Buddha. Untuk inilah, Bhikkhu Jinadhammo juga merintis vihara-vihara untuk masyarakat Batak karo, antara lain Cetiya Sakya Kirti (Tanah Karo), Vihara Kassapa (Desa Turangi), Vihara Sangha Ramsi (Sibiru-biru), Vihara Sriwijaya (desa Parangguam Baru) dan Vihara Buddha Sikhi (Besadi).
Ada satu hal yang patut dipuji dari Bhikkhu Jinadhammo Mahathera, dalam pengabdian yang luar biasa dalam bidang Buddha Dharma, Beliau dikenal sebagai sosok yang tidak terikat kepada sekterian dalam pengertian yang sempit. Meski tercatat sebagai salah satu senior di Sangha Agung Indonesia, Beliau juga merupakan penasehat dari Cetiya Maha Sampatti dan Vihara Maha Sampatti yang merupakan vihara di bawah naungan Sangha Theravada Indonesia. Beliau juga kerap memberi ceramah dan menghadiri perayaan hari besar Agama Buddha di vihara-bihara Mahayana.
Dalam usia yang makin menua, Bhikkhu Jinadhammo masih terus giat membabarkan Buddha Dharma di berbagai pelosok daerah.
1. Ajaran Buddha tidak membedakan kelas / kasta
2. Ajaran Buddha mengajarkan belas kasih yang universal
3. Dalam ajaran Buddha, tidak seorang pun diperintahkan untuk percaya
4. Agama Buddha mengajarkan diri sendiri sebagai pelindung
5. Ajaran Buddha adalah ajaran yang suci
6. Ajaran Buddha adalah ajaran yang damai dan tanpa monopoli kedudukan
7. Ajaran Buddha mengajarkan hukum sebab dan akibat
- Australia
- Bangladesh
- Cambodia
- China
- France
- India
- Indonesia
- Jamaica
- Japan
- Korea
- Laos
- Malaysia
- Mexico
- Myanmar
- Nepal
- Singapore
- Sri Lanka
- Taiwan
- Thailand
- Tibet
- Uganda
- UK
- USA
- Vietnam
When the mind is pure, joy follows like a shadow that never leaves.
The Dharmapada
One who sees me sees the Dhamma.
O monks and wise men, just as a goldsmith would test his gold by burning, cutting and rubbing it, so must you examine my words and accept them, not merely out of reverence for me.
My teaching is not a philosophy. It is the result of direct experience...
My teaching is a means of practice, not something to hold onto or worship.
My teaching is like a raft used to cross the river.
Only a fool would carry the raft around after he had already reached the other shore of liberation.
Dhammapada v. 183
Mind is their chief; they are all mind-wrought.
If with an impure mind a person speaks or acts,
suffering follows him like the wheel that follows the foot of the ox.
Mind is their chief; they are all mind-wrought.
If with a pure mind a person speaks or acts,
happiness follows him like his never-departing shadow.
Dhammapada v. 1, 2
To control it is good. A controlled mind is conducive to happiness.
The mind is very hard to perceive, extremely subtle and wanders at will.
Let the wise person guard it; a guarded mind is conducive to happiness.
Dhammapada v. 35, 36
I inherit my karma.
I am born of my karma.
I am related to my karma.
I live supported by my karma.
Whatever karma I create, whether good or evil, that I shall inherit.
Anguttara Nikaya v.57 - Upajjhatthana Sutta
however small a spark may be, it can burn down a haystack as big as a mountain.
for having willed, one performs an action through body, speech and mind.
Mind is their chief; they are all mind-wrought.
If with a pure mind a person speaks or acts,
happiness follows him like his never-departing shadow.
Dhammapada verse 1 and 2
(1) Vinaya: rules of conduct, which are mainly concerned with the regulation of the monastic order;
(2) Sutras: discourses purportedly spoken by the Buddha, and sometimes by his immediate disciples;
(3) Abhidharma, which includes scholastic treatises that codify and interpret the teachings attributed to the Buddha.
The Vinaya section consists of five books:
(1) Pârâjika Pâli
(2) Pâcittiya Pâli
(3) Mahâvagga Pâli
(4) Culavagga Pâli
(5) Parivâra Pâli
(1) the "long" (Digha) discourses;
(2) the "medium length" (Majjhima) discourses;
(3) the "grouped" (Samyutta) discourses;
(4) the "enumerated" (Anguttara) discourses, which are arranged according to the enumerations of their topics; and
(5) the "minor" (Khuddaka) discourses, which comprise the largest section of the canon and the one that contains the widest variety of materials. It includes stories of the Buddha's former births (Jataka), which report how he gradually perfected the exalted qualities of a Buddha; accounts of the lives of the great disciples (apadana); didactic verses (gatha); an influential work entitled the Path of Truth (Dhammapada); and a number of other important texts.
The Abhidharma section consists of seven books:
(1) The Dhammasangani Pâli
(2) Vibhanga Pâli, Book of Analysis
(3) Dhâtukathâ Pâli
(4) Puggalapaññatti Pâli
(5) Kathâvatthu Pâli
(6) Yamaka Pâli
(7) Patthâna Pâli
Huo Jie has a second in command who he trusts very much, Tjao Man. But Tjao Man betrayed Huo Jie and tried to kill him and his family. Huo Jie managed to survive but his daughter was injured badly. That's when he went back to the Shaolin temple and asked the monks to help his daughter. Hm.. karma, isn't it?
Huo Jie, who had lost everything, stayed in the Shaolin temple, and there, he found a new wisdom. He regrets his fault in the past, and decided to become a monk, practice Shaolin kungfu and learn its philosophy. He then tried to rescue the victims of Tjao Man's cruelty along with the other monks.
In the end, Huo Jie must face Tjao Man. Huo Jie feels responsible for Tjao Man's cruelty as he was the one who taught Tjao Man.
~History~
According to Buddhist tradition, Siddharta Gautama finally abandoned years of rigorous fasting and asceticism by accepting milk and honey from a young woman. He then sat down beneath the Bodhi Tree and vowed not to move until he attained enlightenment.
History
Myth & Mystery
there was a tumult among men and spirits... rays emitted by the Hairs penetrated up to the heavens above and down to hell... the blind beheld objects... the deaf heard sounds...the dumb spoke distinctly... the earth quaked... Mount Meru shook... lightning flashed... gems rained down until they were knee deep... all trees of the Himalaya, though not in season, bore blossoms and fruit.
Quick Facts
Names: | Shwedagon Pagoda; Shwedagon Paya; Shwe Dagon Paya; Shwe Dagon Pagoda |
Type of site: | Buddhist temple; Buddhist shrine |
Dates: | Founded 6th-10th century AD; first attested in 1485 |
Location: | North of the city center between People's Park and Kandawgyi, Yangon, Myanmar |
Hours: | 5am-10pm |
Cost: | $5 |