Yang Mulia Bhikkhu Jinadhammo Mahathera

Bhante Jinadhammo itu titisan Raja Sriwijaya. Ia membuat Buddha Dharma berkilau di Pulau Sumatera. Kilaunya sampai ke seluruh pelosok nusantara."
Demikian pernah disampaikan oleh seorang aktivis Buddhis terkemuka. Pernyataan tersebut jika direnungkan secara mendalam bukanlah sesuatu yang berlebihan. Di tangan bhikkhu yang dikenal sangat disiplin dalam tata susila (baca : vinaya-Red) inilah, bergulir banyak sejarah, mulai dari pembangunan vihara, guru dan dosen Agama Buddha, aktivis-aktivis Buddhis, sekolah, proyek sosial, dan sederet kegiatan lainnya. Semuanya mengukir prestasi yang monumental.

Bhikkhu Jinadhammo merupakan salah satu dari lima bhikkhu yang pertama kali ditahbiskan setelah Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, di Candi Borobudur pada tahun 1970. Beliau juga termasuk sebagai bhikkhu dengan vassa tertua di Indonesia yang masih tetap lincah dan bersemangat dalam mengembangkan Buddha Dharma, khususnya di Indonesia. Ia dikagumi Umat Buddha bukan saja karena kesederhanaan hidupnya tetapi juga keteguhan prinsipnya.

Bhikkhu Jinadhammo dilahirkan di Desa Gempok. Kecamatan Simo, Kabupaten Boyolali, Propinsi Jawa Tengah, pada tanggal 3 September 1944, dengan nama kecil Sunardi. Ayahnya, Adma M. dan ibunya, Sadiem, bukanlah Buddhis.

Sunardi kecil adalah sosok anak yang sering sakit-sakitan. Ditambah lagi dengan kondisi negara yang baru saja merdeka, memaksa keluarga Sunardi untuk selalu berpindah-pindah ke berbagai pelosok di daerah Jawa.

Meski berasal dari keluarga susah, Sunardi tetap bisa menamatkan Sekolah Rakyat (sekarang disebut Sekolah Dasar-Red). Ia melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Dari kecil, semangat belajar Sunardi cukup tinggi. Untuk menambah uang saku, sepulang sekolah ia bekerja sebagai tukang cukur rambut. Sebagaimana anak yang tumbuh remaja, Sunardi juga kerap mengunjungi tempat-tempat keramaian, terutama pertunjukkan wayang kulit. Ia betah menonton pagelaran wayang kulit berhari-hari dan tentunya sampai hapal dengan lakon dan tokoh wayangnya.

“Bhante Jinadhammo itu menguasai sekali masalah perwayangan", demikian disampaikan Rudiyanto Tan, Pimpinan Redaksi Majalah Dhammavira. “Satu kali, kami pernah membahas hal ini, mulai dari Ramayana, Mahabrata, sampai dengan lakon Asmara Bhumi.”

Agama Buddha mulai dikenal Sunardi saat ia bersama teman-temannya sering mengunjungi Candi Borobudur dan Prambanan, yang tak begitu jauh dari tempat tinggalnya. Diam-diam ia penasaran dengan kemegahan candi tersebut. Pertanyaan itu terjawab ketika Sunardi membaca Majalah Mutiara Minggu yang membuat tentang agama-agama besar di Indonesia. Sunardi tertarik sekali dengan Agama Buddha dan sejak itulah ia rutin mempelajari Agama Buddha melalui majalah yang sederhana tersebut.

Tertarik dengan Agama Buddha, akhirnya Sunardi bertemu dengan Bhikkhu Ashin Jinarakkhita di Bandung. Dari Bhikkhu Ashin, Sunardi giat mempelajari Paritta-Paritta suci dan Buddha Dharma secara mendalam. Keseriusan Sunardi membawa berkah. Ia malah dipilih sebagai pemimpin kebaktian untuk mahasiswa-mahasiswi di Vihara Vimala Dharma, Bandung, awal tahun 1960. Hal ini pula yang membawa Sunardi bergabung dalam organisasi Agama Buddha di Bandung pada tqahun 1962.

Setelah satu tahun di Kota Kembang ini, Sunardi ditugaskan oleh Bhikkhu Ashin untuk mengembangkan Buddha Dharma di wilayah Sumatera, khususnya Medan, Padang dan Pekanbaru.

Setelah Sunardi ditahbiskan sebagai upasaka oleh Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, ia kerap mendampingi Bhikkhu Ashin berkeliling Sumatera bahkan Indonesia. Dan ini suatu kebanggaan tersendiri pada masa itu, karena siapa yang bisa terpilih sebagai upasaka Bhikkhu Ashin, merupakan hal yang sangat jarang terjadi.

Upasaka Sunardi ditahbiskan menjadi samanera oleh Bhante Ashin dengan nama Dhammasushiyo. Selang beberapa waktu kemudian, samanera Dhammasushiyo mengambil keputusan untuk menjadi Bhikkhu. Tepat pada Hari Waisak, tanggal 9 Mei 1970, pukul 14.00 WIB, bertempat di Candi Borobudur, bersama empat orang Samanera lainnya, yaitu Samanera Jinasuryabhumi (U.P.Dhamapala alias Nirihuwa Bermandus-kemudian dikenal sebagai Bhikkhu Aggajinamitto), Samanera Dhammasila (Tan Hiap Kik-kemudian dikenal sebagai Bhikkhu Uggadhammo), Samanera Dhammavijaya (Tiong Khouw Siw-dikenal dengan Bhikkhu Sirivijoyo, telah lepas jubah), dan Samanera Dhammabhumi (Djumadi, dikenal sebagai Bhikkhu Saccamano, telah lepas jubah) - Samanera Dhammasushiyo ( dikenal sebagai nama Bhikkhu Jinadammo) diupasampada menjadi bhikkhu.

Selang beberapa waktu setelah diupasampada, Bhikkhu Jinadhammo berlatih meditasi di Wat Ban Tad, Daerah Udonthani, sebelah Timur Laut dari Kota Bangkok, dibawah pengawasan Ajahn Boowa, seorang meditator tersohor, selama kurang lebih tiga tahun. Wat Ban Tad adalah salah satu nama vihara sekaligus pusat pelatihan meditasi termasyur di Muangthai, selain Wat Ba Phong, tempat meditator legendaris Ajahn Chah melatih murid-muridnya.

Setelah tiga tahun belajar meditasi di Muangthai, Bhikkhu Jinadhammo kembali ke Indonesia dan bertugas untuk membina Umat Buddha di Pulau Sumatera. Beliau bermukim di Vihara Borobudur, Medan.

Bersama dengan Bapak Wirawan Giriputra dan Bapak Otong Hirawan, Bhikkhu Jinadhammo bekerja keras memajukan Agama Buddha di Kota Medan. Atas jasa Bhikkhu Jinadhammo pulalah mulai didatangkan tenaga pengajar Agama Buddha dari pulau Jawa ke Sumatera, khususnya Medan dan sekitarnya. Beliau juga mengangkat guru-guru Agama Buddha tersebut sebagai upasaka pandita agar dapat mewakili Sangha, yang pada masa itu tercatat masih sangat minim jumlahnya. Dari guru-guru agama tersebut, tercatat nama-nama seperti Pandita Widyaputra Suwidi Sastro Atmojo yang memiliki peranan besar dalam mendirikan Vihara Buddha Jayanti di Rantau Prapat, Pandita Kumala Kusumah yang berjasa besar dalam memajukan pendidikan Agama Buddha di Kisaran atau Pak Dharmanto di Medan.

Selain menggerakkan pembangunan banyak Vihara di Sumatera, Bhikkhu Jinadhammo juga sangat antusias dalam melaksanakan program latih diri terhadap Umat Buddha, beberapa diantaranya adalah Program Latih Diri Vipassana Bhavana yang dilaksanakan secara rutin. Pekan Penghayatan Dharma, Latih diri Atthangasila/Pabbaja Samanera-Samaneri, dan banyak lagi. Bhikkhu Jinadhammo juga memberi perhatian besar terhadap dunia pendidikan. Didukung oleh Romo Ombun Natio, Bhikkhu Jinadhammo juga menggagas pendirian Institut Agama Buddha Smaratungga Cabang Medan (saat ini bernama Sekolah Tinggi Agama Buddha Bodhi Dharma-Red), yang banyak melahirkan sarjana Agama Buddha yang kini tersebar baik sebagai penyuluh Agama Buddha di Departemen Agama Republik Indonesia, guru agama di berbagai sekolah, maupun aktivis Buddhis terkemuka. Beliau juga memiliki banyak anak asuh yang berasal dari keluarga kurang mampu tetapi masih memiliki keinginan untuk sekolah.


Agama Buddha di Tanah karo dan Semangat Non Sekterian


Tak banyak Umat Buddhis di Sumatera Utara yang mengetahui bahwa jasa Bhikkhu Jinadhammo dalam merintis Agama Buddha di Tanah Karo sangat besar. Seperti kita ketahui bersama, banyak pandangan awam yang mengtahui bahwa Agama Buddha hanya milik orang Tionghoa saja. Tentu saja ini salah besar! Selain Tionghoa, Tamil dan Jawa, ternyata Agama Buddha banyak dipeluk oleh masyarakat Batak karo. Tercatat nama-nama tokoh Buddhis yang berasal dari Batak Karo, diantaranya Bhikku Kanthadhammo, Channa Surbakti, Ndriken Sitepu, Gancih Sitepu (alm), Densi Ginting, Nenteng Barus, dan banyak lagi. Upaya ini telah mulai dirintis oleh Bhikku Jinadhammo sejak tahun 1984. Saat ini, jumlah masyarakat Batak karo yang memeluk Agama Buddha semakin meningkat. Bahkan diantara mereka ada yang telah fasih dalam melafalkan Paritta dan menjadi Tokoh Agama Buddha. Untuk inilah, Bhikkhu Jinadhammo juga merintis vihara-vihara untuk masyarakat Batak karo, antara lain Cetiya Sakya Kirti (Tanah Karo), Vihara Kassapa (Desa Turangi), Vihara Sangha Ramsi (Sibiru-biru), Vihara Sriwijaya (desa Parangguam Baru) dan Vihara Buddha Sikhi (Besadi).

Ada satu hal yang patut dipuji dari Bhikkhu Jinadhammo Mahathera, dalam pengabdian yang luar biasa dalam bidang Buddha Dharma, Beliau dikenal sebagai sosok yang tidak terikat kepada sekterian dalam pengertian yang sempit. Meski tercatat sebagai salah satu senior di Sangha Agung Indonesia, Beliau juga merupakan penasehat dari Cetiya Maha Sampatti dan Vihara Maha Sampatti yang merupakan vihara di bawah naungan Sangha Theravada Indonesia. Beliau juga kerap memberi ceramah dan menghadiri perayaan hari besar Agama Buddha di vihara-bihara Mahayana.

Dalam usia yang makin menua, Bhikkhu Jinadhammo masih terus giat membabarkan Buddha Dharma di berbagai pelosok daerah.

No Response to “Yang Mulia Bhikkhu Jinadhammo Mahathera”

Leave a Reply